Sabtu, 23 Maret 2013

transformasi fungsi gambar



melainkan juga dalam hampir semua bidang semiotis, termasuk di dalam bahasa (Budiman, 2005:62). Pada makalah ini akan dibahas ikon dalam Metafora. Ikon tidak selalu berdasarkan pada kemiripan seperti dalam pemahaman “awam” sehari-hari, melainkan juga similaritas dalam pengertian sebagai relasi abstrak ataupun homologi struktural (Budiman,  

Transformasi Fungsi Gambar dalam Ilustrasi: Dari Dekorasi Visual, Interpretasi Visual, Jurnalis Visual sampai Opini Visual

Merunut Akarjalar Ilustrasi Dunia: Dari Heteronomi ke Otonomi

Ketika kita membicarakan gambar dalam konteks Ilustrasi berarti memperbincangkan gambar dalam bingkai fungsi. Sisi fungsi sangat melekat dalam kata ‘Ilustrasi’. Hal ini terjadi karena dalam sejarahnya kata “Illustrate” muncul akibat pembagian tugas fungsional antara teks dan gambar. Dari etimologinya Illustrate berasal dari kata ‘Lustrate’ bahasa Latin yang berarti memurnikan atau menerangi. Sedangkan kata ‘Lustrate’ sendiri merupakan turunan kata dari * leuk- (bahasa Indo-Eropa) yang berarti ‘cahaya’ (Grolier Multimedia Encyclopedia 2001). Dalam konteks ini Ilustrasi adalah gambar yang dihadirkan untuk memperjelas sesuatu yang bersifat tekstual.

Ilustrasi adalah anak industrialisasi yang mendambakan spesialisasi dalam mekanisme kerjanya. Pada awal abad pertengahan terjadi pembagian tugas kerja antara seorang ’Scrittori’ dan seorang ’Illustrator’ dalam pembuatan sebuah illuminated manuscript. Posisi seorang Scrittori bertugas untuk menyiapkan dan mendesain huruf atau kaligrafi dari teks sebuah buku atau manuskrip. Sedangkan seorang Ilustrator bertugas untuk memproduksi ornamen dan gambar yang memperjelas isi teks. Pemilahan tersebut mengawali dan mempertegas istilah Ilustrasi menjadi selalu berdimensi fungsi.

Fungsi memperjelas sebuah teks atau bahkan memberi sentuhan dekorasi pada lembar-lembar teks memberi gambaran bahwa saat itu gambar (ilustrasi) adalah subordinan dari teks. Gambar adalah pelengkap teks. Gambar hanyalah wahana untuk mengantarkan pemahaman secara lebih utuh dari sebuah teks. Seorang Ilustrator harus dapat memahami isi teks dan kemudian mengilustrasikannya dalam bentuk gambar. Kemampuan mentranslasikan dari sesuatu yang tekstual ke dalam bentuk yang visual menjadi poin penting sebagai seorang Ilustrator. Ilustrator berperan sebagai penerjemah (interpreter) ke pada pembaca dari sesuatu yang abstrak (wilayah bahasa/tekstual) ke dalam sesuatu yang konkret sifatnya (wilayah rupa). Tuntutan kepiawaiannya tidak berhenti pada tataran olah rupa (visualisasi) saja, tetapi juga mencakup wawasan (pemahaman terhadap teks) dan olah komunikasinya (bagaimana cara menyampaikan kepada pembacanya melalui rupa). Posisi Ilustrator dalam hal ini adalah sebagai visual interpreter. Secara fungsional Ilustrator berada di posisi antara (in between) penulis dan pembacanya. Di sisi lain posisi seorang Ilustrator adalah sebagai seorang visual dekorator. Menyiapkan iluminasi sebagai bingkai penghias ataupun mengisi ruang-ruang kosong dalam sebuah manuskrip. Era illuminated manuscript ini berakhir ketika gambar yang sebelumnya dieksekusi melalui teknik manual, mulai dicetak dengan teknik woodcut.

Selanjutnya mekanisasi dan massalisasi sebuah buku menjadi semakin menemukan bentuknya dengan penemuan movable type (1451). Walaupun penyajiannya tidak terlalu beranjak jauh dari era illuminated manuscript; unsur dekorasi dalam bentuk ornamen membingkai tiap halamannya dan gambar kadang tampil penuh satu halaman sebagai penjelas teks.

Pada akhir abad 18, muncul sebuah Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina. Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya mencerminkan gabungan dari keduanya.

Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre (painter’s book). Ilustrasi tidak hanya menjadi bagian atau pelengkap sebuah buku, tetapi menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku tersebut di desain oleh para seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.

Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan aktifitas-aktifitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri. Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator sebagai author itu sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri.

Sepenggal Sejarah Ilustrasi Indonesia 1920-1960

Sejarah panjang Ilustrasi tidak bisa dilepaskan dari dunia buku. Pemahaman kita terhadap fungsi Ilustrasi sebagai penjelas, memperindah atau bahkan pemahaman fungsi yang lebih avant garde tidak terpisah dari perkembangan dan pemaknaan ulang media di mana ilustrasi tersebut diaplikasikan. Pergulatan panjang posisi Ilustrator melalui cara ungkap visual maupun pesan tidak lepas dari semangat jamannya.

Di Indonesia karya Ilustrasi dapat kita jejak melalui artifak-artifak visual naratif yang ada. Merunut khasanah visual naratif di Indonesia tidak kalah panjang dengan sejarah visual naratif di belahan dunia lainnya. Catatan-catatan visual di garca-garca goa yang bertebaran dari Leang-leang di Sulawesi sampai goa Pawon di Jawa Barat menjadi penanda bertutur visual era pra sejarah. Gambar-gambar pada lembar-lembar lontar ataupun pada media Wayang Beber menandai era pra modern. Di era kolonialisasi muncul media-media modern seperti majalah atau surat kabar. Melalui media surat kabar ataupun majalah tersebut terjadi transfer ilmu (ilustrasi) baik teknis maupun gagasan dari Ilustrator asing (penjajah) kepada para Ilustrator bumi putra. Walaupun istilah ’Ilustrasi’ bukan dari kamus bahasa kita sendiri, secara subtantif artifak-artifak visual/gambar tersebut memiliki kesamaan secara fungsional, menjelaskan atau menerangkan.

Dari rentang waktu antara th 1920-1960 (di Indonesia) dari artifak yang berhasil dikumpulkan (dalam media massa) akan memberi gambaran dinamika Ilustrator dan karya Ilustrasinya. Pengklasifikasian artifak temuan terdiri dari dua jenis: ilustrasi untuk rubrikasi dan ilustrasi yang menjelaskan cerita atau artikel.

Ilustrasi pada rubrikasi secara fungsi menjelaskan atau memberi gambaran umum tentang isi rubrik yang diwakilinya. Wakil-wakil visual adalah resonansi dari judul-judul rubrikasi. Sebagai contoh, judul sebuah rubrikasi ”PAGERAKAN” atau pergerakan wakil visual yang hadir adalah sosok pemuda berjas dan berpeci dengan gestur bergerak dinamis sebagai foreground. Ikon catatan-catatan dan suluh lilin menjadi pelengkap penjelas rubrikasi tersebut dalam background nya. Ada korelasi yang jelas antara gambar dan teks. Gambar berfungsi memperjelas teks. Ilustrasi sebagai interpretasi visual terhadap teks.

Beberapa artifak rubrikasi dijumpai juga gambar-gambar memiliki korelasi terasa jauh atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan rubrik yang diwakilinya. Teks bertuliskan ”Panjebar Semangat” sedangkan wakil visual yang hadir adalah gambar pegunungan dengan sawah dan petani, atau stilasi Kala menyerupai ukiran pintu gerbang. Pemilihan wakil-wakil visual tersebut dapat kita baca lebih simbolis. Gambar landscape gunung beserta sawah dan petani ataupun stilasi Kala tersebut sebagai subtitusi Nasionalisme atau Negara Indonesia. Relasi antara gambar dan teks melalui pendekatan simbolis seperti itu-pun masih terasa jauh. Relasi gambar dan teks tidak langsung menjelaskan, terkadang malah terjebak sebagai dekorasi saja. Fungsi gambar pada ilustrasi rubrikasi jenis ini memiliki kecenderungan besar kearah ilustrasi sebagai dekorasi visual, walaupun tidak menutup kecenderungan lainnya.

Kategori lainnya adalah gambar–gambar yang menyertai teks di dalam media massa. Artifak visual biasanya muncul mengiringi teks pada cerpen dan tajuk utama atau editorial. Seorang Ilustrator dalam menanggapi teks melalui gambar atau wakil visual yang dihadirkannya dapat kita klasifikasikannya dalam dua pola; pertama, bagaimana Ilustrator mengolah pesan (what to say), kedua, adalah bagaimana cara Ilustrator mengolah rupa (how to say). Hampir sebagian besar artifak visual yang telah dikumpulkan bersifat Naratif dalam olah pesannya. Dalam hal ini berarti Ilustrator memposisikan dirinya sebagai interpreter visual. Modusnya mencoba menterjemahkan teks dengan mencari moment yang paling menarik dan mewakili dari naskah tersebut, kemudian mencari wakil visualnya yang paling gamblang/jelas dalam menyampaikan pesan. Beberapa artifak tampil unik dengan menggunakan pendekatan olah pesan yang lebih metaforik. Artifak yang muncul di harian Fikiran Ra’jat (1932), menggambarkan permasalahan imperialisme dengan metafora seekor anjing berjenis Bulldog berkalung leher bertuliskan “Imperialisme“, dengan ujung ekor muncul sosok kepala priyayi jawa yang bertuliskan “boeroeh imperialisme”. Permainan subtitusi visual menghasilkan kiasan-kiasan tak langsung menguatkan pesan yang disampaikannya. Ilustrator dengan pendekatan metafora, sedikit atau banyak telah memasukkan opini pribadinya dalam menanggapi teks yang ada. Gambar tidak hanya sebagai penjelas teks, tetapi sudah bergeser pada opini visual yang lebih personal. Ilustrasi mulai mencari ruang-ruang otonominya.

Pada wilayah olah rupa, terjadi eksplorasi yang cukup luas (dalam keterbatasan teknis yang ada) dari gaya visual yang rumit, realis, obyektif dan khusus sampai ke wilayah ujung paradoksnya yang sederhana, ikonis atau abstrak, subyektif dan umum. Rentang waktu antara tahun 1929 sampai 1951/53, sebagian besar ilustrator menggali potensi garis, outline, dan bidang-bidang datar. Garis-garis liris maupun ekspresif melalui media gambar pena, tinta dengan kuas menghasilkan kualitas visual yang khas. Garis arsir membentuk tonal gradasi maupun gelap terang dari obyek-obyek yang dihadirkannya. Di tahun 1956 ditemukan artifak ilustrasi bernada penuh dengan gradasi yang halus. Kecenderungan tersebut dihadirkan melalui pendekatan teknis hitam putih media cat air. Gaya gambar yang muncul lebih realis mendekati karya fotografis. Di akhir 60-an muncul kecenderungan baru dalam mengolah huruf sebagai bagian dari gambar. Tipografi sebagai gambar (type as image) adalah sebuah kesadaran baru dari para ilustrator di era tersebut. Kemampuan olah huruf sebagai pendukung resonansi visual, mengingatkan kita pada Onomatopea di ranah seni sekuensial.

Sebuah catatan khusus di era 1942-194

Di masa Jepang (1942–1945) para seniman sering mengerjakan karya ilustrasi dalam rangka propaganda Jepang. Keimin Bunka Shidosho adalah wadah kelompok kesenian yang langsung dibawah pengawasan Sendenbu atau Barisan Propaganda Bala Tentara Dai Nippon (Dullah, Raja Realisme Indonesia: 17). Ilustrator (para seniman yang mengerjakan karya ilustrasi) mendapat posisi yang baik secara politis karena pemanfaatan untuk kepentingan perang. Dalam berbagai aplikasi medianya seperti di poster maupun media massa dapat kita amati seringkali ilustrator memposisikan dirinya sebagai interpreter visual. Pesan-pesan baik gagasan propaganda maupun pesan naskah pada media massa ditranslasikan dengan gamblang oleh ilustrator. Tetapi di era ini juga muncul jurnalisme-jurnalisme visual yang kuat dari para seniman.

Dokumentasi peristiwa-peristiwa penting dalam pergerakkan kemerdekaan tergambarkan dalam catatan-catatan visual para seniman. Bagaimana Soekarno membakar semangat para pemuda ter-capture dengan baik dalam “Di Bawah Bendera Revolusi” catatan visual sederhana dengan kuas spontan on the spot oleh Dullah. Bahkan beberapa muridnya yang masih belia seperti Moh. Toha terjun ke area peperangan ikut mengabadikan melalui goresan tangannya.

Di era 1945 pula, muncul karya poster yang fenomenal “Boeng Ajo Boeng” menjadi tonggak sejarah perjuangan, kontribusi dari para seniman. Poster tersebut hasil kolaborasi antara S. Soedjojono, Affandi dan Dullah (sebagai model untuk di gambar), sedangkan Chairil Anwar menyumbangkan slogan untuk Headline teksnya. Goresan-goresan kuat dan ekspresif dapat kita temukan hampir di semua artifak ilustrasi di era ini. Semangat jaman dari akumulasi keinginan untuk merdeka seakan terepresentasikan melalui tangan-tangan ilustrator di kala itu. Opini–opini visual melalui media poster maupun jurnalisme visual semakin mengukuhkan pergeseran posisi fungsi Ilustrasi menjadi lebih mandiri. Pada awalnya Ilustrasi sebagai gambar terbingkai oleh nilai-nilai fungsinya yang heteronomi kini mulai bergeser ke ruang-ruang yang lebih otonom.



 


 

Ikon adalah tanda yang didasarkan pada kemiripan di antara tanda (representamen) dan objeknya, walaupun tidak semata-mata bertumpu pada pencitraan “naturalistik” seperti apa adanya, karena grafik skema, atau peta juga termasuk yang dapat dikakan ikon (Budiman. 2005:23). Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis, dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas (Budiman, 2005:43).



Pierce ternyata memilah-milah tipe-tipe ikon secara tripatit, yaitu ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora (metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis (Budiman, 2005:66). Metafora adalah ikon yang didasarkan atas similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis (Budiman, 2005:74). Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat.



Contoh Ikon Metafora:



Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau hewan) yang memiliki kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung.



Daftar Pustaka



  1. Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas: Semiotika Sastra Dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

  2. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.



 



 



 


semantik dan semiotika





1.       Apa perbedaan semiotika dan semantic? Jelaskan? 

 Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda secara umum seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotika biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Sedangkan tokoh yang merumuskan teori ini ada dua yakni Charles sander pearce tentang hubungan triadic antara ikonitas, indeksitas dan simbolitas dengan istilah semiotika dan sedangkan Ferdinand Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis.  Saussure dengan istilah semiologi.


Sedangkan  semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Semantik mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantic merupakan bagian dari linguistik. Semantic sebenarnya merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning. Kata semantic sendiri berasal dari bahasa Yunani. Yaitu sema (kata benda) yang berarti “menandai” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian semantic disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistic untuk memelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan sesuatu yang ditandainya.

2.       Dimana letak relasi antara ilmu semiotika dan semantic?

semiotika adalah : untuk memahami tanda-tanda yang berserakan disekitar manusia. Dari perspektif semiotika, semua hal bisa dikategorikan tanda, termasuk tanda-tanda yang terdapat dalam struktur bahasa (lebih cenderung pada aspek diakronis daripada sinkronis). Sedangkan semantic lebih ke aspek Bahasa (linguistik) merupakan alat ekspresi da komunikasi manusia. Manusia bisa menjelasakan pada sesamanya ide-ide, konsep-konsep, dan bahkan sesuatu yang dinamakan tanda dengan perantara bahasa (lebih mengarah pada aspek sinkronis bahasa/langue “kesejamanan” daripada aspek diakronis bahasa dan parole). Maka, relasi atau kaitan posisi semantik dengan Semiotik, Linguistik adalah : sebagai tanda (dilalah) untuk kemudian dikategorikan dan diklasifikasi oleh semiotik, diekspresi-komunikasikan melalui ide, gagasan atau konsep-konsep oleh semantik (linguistic)

3.       Sebutkan beberapa definisi semantic menurut beberapa ahli?

Berikut merupakan defionisi semantic menurut kutipan para ahli linguistic         
·         Charles Morrist Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.
·          J.W.M Verhaar; Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
·          Lehrer; Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
·          Kambartel Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
·          Dr. Mansoer pateda Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.
·         Ferdinand de Saussure Semantik terdiri dari:
1. Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk dan bunyi bahasa.
2. Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Konsep semantic menurut Ferdinand de Saussure terdiri dari:

4.        Jelaskan konsep semantiknya Ferdinand de Saussure?

Konsep Semantinya Ferdinand de Saussure Semantik terdiri dari:
1. Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk dan bunyi bahasa. Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa(ekstralingual).

2.  Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.misal Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bumyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek. 

Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.

5.       Jelaskan konsep semantiknya Ogden & Richards?

 Ogden & Richards menggambarkan unsur-unsur  makna dengan ―segitiga semiotic sebagai berikut. Dijelaskannya bahwa  makna (pikiran atau referensi) adalah hubungan antara lambang (simbol) dengan acuan atau referen. Hubungan antara lambang dan acuan bersifat tidak langsung, sedangkan hubungan antara lambang dengan referensi dan referensi dengan acuan bersifat langsung. Bagannya sebagai berikut.
                  
Bagan 8:  Segitiga Semantik
                                                  
Makna (referensi pikiran)

     
             
Lambang( meja )                                                                    
 Acuan ; referen(sebuah meja) 
                                                          
              Berkaitan dengan unsur-unsur makna terlibat adanya tanda dan lambang, konsep, dan acuan. Konsep atau referensi merupakan sebuah makna sebagai hubungan antara lambang dan acuannya. Makna itu sendiri mengandung aspek-aspek tertentu yang berupa tema, rasa, nada, dan amanat.Sebagaimana telah disebutkan bahwa makna merupakan hubungan antara lambang dan acuannya. Batasan makna ini sama 20dengan istilah  pikiran atau  referensi (Ogden & Pichards, 1923:11) atau konsep (Lyons, 1977:96). Hubungan antara makna dengan lambang dan acuan sama, yakni bersifat langsung
6.       Ogden & Richards  mengumpulkan banyak  definisi makna. Sebutkan?

Ogden & Richards mengumpulkan banyak  definisi makna sebagai brikut;
(1) Suatu sifat yang intrinsik.
(2) Hubungan dengan benda-benda lain yang unik, yang sukar dianalisa.
(3) Kata lain tentang suatu kata yang terdapat di dalam kamus.
(4) Konotasi kata.
(5) Suatu esensi. Suatu aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu objek.
i.  Suatu peristiwa yang dimaksud dan  ii. Keinginan
(6) Tempat sesuatu di dalam suatu sistem.
(7) Konsekuensi praktis dari suatu benda dalam pengalaman kita mendatang
(8) Konsekuensi teoritis yang terkandung dalam sebuah pernyataan.
(9) Emosi yang ditimbulkan oleh sesuatu
(10) Sesuatu yang secara aktual dihubungkan dengan suatu lambang oleh hubungan yang telah dipilih.
(11)   i. Efek-efek yang membantu ingatan jika mendapat stimulus. Asosiasi-asosiasi yang diperoleh.
              ii. Bebarapa kejadian lain yang membantu ingatan terhadap kejadian yang pantas.
             iii. Suatu lambang seperti yang kita tafsirkan.
 iv. Sesuatu yang kita sarankan.Dalam hubungannya dengan lambang; penggunaan lambang yang secara  aktual kita rujuk.
(12)  Penggunaan lambang yang dapat merujuk yang dimaksud.21
(13) Kepercayaan menggunakan lambang sesuai dengan yang kita maksudkan.
(14) Tafsiran lambing;  i.   Hubungan-hubungan,  Percaya tentang apa yang diacu,  Percaya kepada pembicara tentang apa yang dimaksudkannya.

7. menurut Ogden & Richards dengan makna terdapat berbagai istilah yang sering terkacau-kan. Sebutkan dan jelaskan?

Dalam kaitannya dengan makna terdapat berbagai istilah yang sering terkacau-kan, menurut Ogden & Richards istilah-istilah tersebut antara lain:
(1) arti, yakni maksud yang terkandung di dalam perkataan atau kalimat, guna, faedah;
(2) amanat, yakni pesan atau wejangan, keseluruhan makna atau isi suatu pembiacaraan, konsep dan perasaan yang disampaikan penyapa untuk diterima pesapa, gagasan yang mendasari karangan, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca;
(3) gagasan, yakni ide, hasil pemikiran;
(4) ide, yakni gagasan, cita-cita, rancangan yang tersusun dalam pikiran;
(5) informasi, yakni, penerangan, keseluruhan makna yang menunjang amanat;
(6) isi, yakni suatu yang ada dalam benda, volume, inti wejangan;
(7) konsep, ide, pengertian yang diabstrasikan dari peristiwa konkret, gambaran mental dari obyek, proses apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal lain;
(8) maksud, yakni sesuatu yang dikehendaki, tujuan, niat, arti atau makna dari suatu hal atau perbuatan;
(9) pesan,  yakni amanat yang harus disampaikan kepada orang lain, nasihat, wasiat;
(10)  pengertian, yakni gambaran atau pengetahuan mengenai sesuatu di dalam pikiran, paham, arti, dan kesanggupan   intelegensi untuk menangkap makna suatu situasi atau perbuatan;
(11)  pikiran, yakni  hasil  berpikir, ingatan  atau   akal,  niat,  22 maksud, angan-angan, aktivitas mental yang mencakup  konsep atau olahan ingatan dan pernyataan;
(i)   pernyataan, yakni proposisi;
(ii) proposisi, yakni rancangan usulan, ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar tidaknya. Proposisi  adalah  makna   kalimat  atau klausa yang terdiri atas perdikator dan argument

7.       jelaskan konsep lambing menurut lyons dan paparkan batasan leksem menurut kridalaksana?

Lyons mengganti istilah  symbol dengan  sign; tought atau  reference dengan  concept; dan  referent dengan signicatum atau  thing. Kemudian istilah  tanda diwujudkan dengan leksem. Dalam hal ini, ―the lexeme signifying the concept and the concept signifyng the thing. Oleh karena itu, Kridalaksana (1987:52) membatasi leksem sebagai:
(1) satuan terkecil dalam leksikon;
(2) satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis;
(3) bahan baku dalam proses morfologis;
(4) unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah disegmentasikan dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari afiks; dan
(5) bentuk yang tidak tergolong proleksem atau partikel.
9. jelaskan konsep hubungan antara tanda,  penanda,  dan  petanda menurut Charles S. Pierce?
Menurut Charles S. Pierce hubungan antara tanda,  penanda,  dan  petanda dengan tiga istilah, yakni:
      (a) icon, yang mengandung ‗similarity‘;
      (b) index, yang mengandung ‗non-cognitive relation‘; dan
      (c) symbol, yang dipakai karena ‗habits‘.
Yang berkaitan dengan masalah leksem ialah  ikon, yang dapat dideskripsikan sebagai tanda yang mempunyai kemiripan topologis antara penanda dan petandanya. Ikon ini terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut.
(1) image, yaitu ikon yang penandanya dalam beberapa hal menyerupai pertandanya;
(2) diagram, yaitu ikon yang merupakan susunan dari penanda-penanda teratur yang masing-masing tidak
menyerupai pertandanya, tetapi yang berhubungan, di antaranya mencerminkan hubungan petandanya;
(3) metaphor, yaitu ikon yang antara penanda dan petandanya terdapat kesamaaan fungsional.Tingkatan kemiripan antara penanda dan petanda itulah yang disebut  ikonisitas, atau istilah Ullamnn motivation. Jadi, ikonisitas bersangkutan dengan kejelasan tanda24bahasa atau leksem. Jika suatu leksem jelas (transparent), dalam arti ada kesepadanan antara penanda dan petandanya, maka leksem itu tidak ikonis.
10. Jelaskan tentang konsef Dalam acuan, makna, dan lambang, serta kaitannya menurut Ladislav Zgusta?
Sebelum kita menjawab pertanyaan diatas terlebih dahulu kita harustau apa itu acuan atau refren itu apa?
Acuan atau  referen adalah sesuatu yang ditunjuk atau diacu, berupa benda dalam kenyataan, atau sesuatu yang dilambangkan dan dimaknai. Acuan merupakan unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa. Misalnya, benda yang disebut rumah adalah referen dari kata rumah.

 kaitannya dengan acuan, makna, dan lambang, Ladislav Zgusta (1971) dalam bukunya Manual of Lexicography, menjelaskan tiga istilah yang terkait, yakni designasi atau  denotasi, konotasi, dan lingkungan pemakaian.
Designasi atau  denotasi membentuk makna dasar. Kompoen ini mencakupi tiga unsur utama, yakni:
(1) leksem, sebagai wujud ekspresi yang berupa lambang bunyi, disebut juga penanda (signifiant);
(2) designatum, sebagai pengertian atau konsep benda yang dilambangkan  tadi, disebut juga petanda (signifie); dan
(3) denotatum.  sebagai acuan atau hal-hal yang langsung mengenai bendanya, objek yang diacu, berada di luar bahasa.
Konotasi ialah segala makna yang terjadi karena penambahan sebuah makna yang bersifat lain dari makna dasar. Makna konotasi dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain,
(1) pembentukan ungkapan, contohnya: makan tangan;
(2) dialek sosial, contohnya: kata anda lebih hormat dari kata engkau;
(3) dialek regional, contohnya: kata  kamu berkonotasi baik untuk orang Batak, tetapi berkonotasi  kurang sopak bagi orang Jawa;
(4) bentuk metaforis, contohnya: alap-alap (= pencuri);
(5) asosiasi, contohnya: batu (= hal-hal yang keras); dan
(6) konteks kalimat, contohnya:Dengan tembakan yang bagus dari Eri Irianto, akhirnya bola menjala. Lingkungan pemakaian atau konteks merupakan tempat pemakaian kata berserta maknanya. Kata yang sama dipakai di lingkungan yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda pula. Misalnya,  mangkat dan  meninggal bermakna sama, tetapi berbeda pemakaiannya.